Sebuah
Catatan Refleksi
Saat ini sudah
banyak program-program yang ditujukan pada masyarakat yang ber’label’kan pemberdayaan. Program
dengan pendekatan partisipatif ini berusaha menduduk kan masyarakat sebagai
pelaku sentral, pelaku utama, sebagai subyek bukan lagi objek, program ini
berusaha memperbaiki pola-pola lama, dari yang bersifat top down, semua pengelolaan program dilakukan oleh pemerintah, mulai
dari perencananan, pelaksanaan sampai monitoring dan evaluasi, masyarakat tidak
dilibatkan sama sekali,
ke pendekatan yang bersifat bottom
up, di mana seluruh program pembangunan
diusahakan berangkat dari bawah, artinya masyarakat akan dilibatkan sejak awal
dalam perencanaan dan tahapan-tahapan selanjutnya.
Dalam mengorganisir masyarakat untuk
mewujudkan cita-cita bersama, maka pola pemberdayaan juga sudah banyak
menggunakan peran CO (Community Organizer), Sekarang istilah CO ini seakan
telah terreduksi dengan istilah Pendamping
Masyarakat atau mungkin Fasilitator Masyarakat.
Diawal program-program pemberdayaan ini
diluncurkan, terasa gegap gembita, masyarakat menyambut dengan antusias, pada
dekade pertama masyarakat banyak mengucapkan “terima kasih”, namun…dalam
perjalanannya sekarang ini, pada tataran pelaksanaan program pemberdayaan yang
katanya melibatkan masyarakat banyak, ternyata juga menyimpan potensi “penyelewengan”
program.
Hasil dan keberlanjutan dari sebuah
program tidak ada jaminan akan terpelihara. Hasil-hasil program baik berupa
bangunan fisik, sarana dan prasarana banyak yang terbengkalai karena tidak
dirawat secara baik. Tidak ada ‘rasa memiliki’ dan tidak ada tanggungjawab
bersama untuk merawatnya. Apabila di tanyakan alasannya, maka jawaban klasik
yang muncul, karena tidak ada dana untuk
perawatan. Akhirnya menyalahkan pihak lain, pemerintah yang tidak mau
memperhatikan, dan sebagainya…dan sebagainya.
Ada perubahan mental
masyarakat dari masyarakat yang tanpa
pamrih dan mau berkorban untuk
kepentingan masyarakat banyak menjadi masyarakat peminta imbalan dan egois
dengan mendahulukan kepentingan pribadi atau kelompok dari kepentingan orang
banyak. Gejala-gejala seperti ini sudah banyak ditemui dimasyarakat, masyarakat
sudah banyak menggunakan “trik” untuk dapat mengambil keuntungan, bahkan sudah
banyak juga “pengelabuhan ter-sistem” yang dilakukan, banyak kegiatan
pembangunan sarana prasarana yang tidak lagi memperhatikan kualitas, demi
mengambil keuntungan yang besar, banyak juga masyarakat yang tidak lagi secara
terbuka atau transparan menyampaikan hasil pertanggungjawaban, banyak
pelatihan-pelatihan yang dilakukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban, banyak
pendamping yang terlalu sibuk dengan beban administrasi dan laporan yang
menumpuk, sehingga melupakan ‘masyarakat’.
Lantas apa dan siapa yang salah dalam
hal ini ?.... Program kah ? Peran Pendamping yang kurang maksimal ?...banyak
prinsip-prinsip pendampingan yang dilanggar ?...atau masyarakat yang semakin
tidak peduli ?...., menjadi catatan bersama, di penghujung tahun 2014,
selangkah lagi UU Desa di terapkan, sudah sejauh mana Program pemberdayaan dan
peran pendamping ini mengantarkan masyarakat, pada kesiapan dan kemandirian……,
atau… penerapan UU Desa yang menjadi “euphoria” tersendiri…,karena ada
‘iming-iming’ dana yang bisa juga
menjadi peluang baru, trik-trik dan pengelabuhan-pengelabuhan dengan ‘modus
baru’ lagi ?...Smoga ini tidak terjadi.
Smoga
lebih banyak nilai-nilai baik yang ditularkan oleh orang-orang baik yang
mempunyai kesadaran dan komitmen untuk terus terlibat dan memberikan kontribusi
yang positif untuk kemajuan yang lebih baik.